Sabtu, 23 Juli 2011

Bergagi mentari


BERBAGI MENTARI

Pagi itu di rumah Riri terlihat sibuk, ibunya sedang mempersiapkan kue-kue yang akan di bawa untuk di jual. Setelah Ayah dan Kakak laki-laki Riri meninggal otomatis sekarang hanya ada dua srikandi yaitu Riri dan ibunya yang menopang hidup keluarga kecil ini. Tepatnya empat tahun yang lalu Ayah dan Kakak Riri meninggal dalam sebuah kecelakaan. Untung saja Riri termasuk siswi yang pandai jadi bisa ngelanjutin ke sekolah yang bagus. Malahan ia dicalonkan sebagai ketua OSIS oleh teman-temannya. Sekolah Riri termasuk sekolah yang di unggulkan di kota ini tak heran Riri berani jungkir balik untuk tetap bisa bersekolah di sana. Riri biasa menitipkan dagangan ibunya ke kantin sekolah dan ke warung-warung dekat rumahnya. Riri ke sekolah dengan berjalan lagi, apa lagi kalo gak untuk menghemat biaya.  Sebenarnya Riri menginginkan ibunya menikah lagi supaya ibunya tidak terlalu capek banting tulang mencari nafkah untuknya. Sebenarnya Riri ingin bekerja paruh waktu tapi itu mendapat larangan keras dari ibunya, pendidikan tetap nomor satu dan tidak boleh diabaikan. Rumah Riri termasuk rumah yang besar, karena itu rumah peninggalan ayahnya, untung saja masih ada tempat berteduh yang layak. Selain menjual kue, ibu Riri juga menjadi tukang jahit dan sekarang sudah dapat langganan.
Riri bersiap pergi ke sekolah, setelah merapikan seragamnya dan sarapan dia langsung pamit ke ibunya untuk berangkat. Bawaan Riri yang banyak setiap pagi tak membuat ia mengeluh. Untung saja ada Rama yang selalu membantu Riri. Rama adalah sahabat Riri, mereka berteman sejak SMP. Rama membantu Riri mengantar kue ke warung yang ada di ujung jalan kampung sebelah. Rama selalu membawa motor kesayangannya, tapi Riri selalu saja tidak mau kalau di ajak berangkat bareng. Rumah Rama sebenarnya ada di kampung yang terletak dua blok dari rumah Riri, tapi karena suatu janji Rama selalu membantu Riri, padaha Riri selalu menolaknya dan beginilah kesepakatan mereka.
Setelah Rama mengambil kue untuk diantar ke warung, Riri berangkat ke sekolah sambil mengantar kue-kue itu di warung yang sejalan dengan arah ke sekolah. Riri selalu mengambil jalan setapak, melewati sungai kecil, kebon dan tanah kosong. Kalau kemaleman lewat jalan ini sangat berbahaya, karena setiap malam selalu ada gerombolan preman kampung yang sering mabuk. Kalau terpaksa pulang agak petang Riri selalu memutar jalan yang jaraknya dua kali lipat.
Riri sudah menginjakkan kaki ke gerbang sekolah berarti tinggal satu kotak kue lagi. Riri menyapa satpam sekolah dan berjalan ke kantinn sekolah. Peluh menghiasi dahi  Riri. Itulah yang membuat wajah Riri tidak pernah bersinar, namun wajahnya masih ceria karena semangatnya yang luar biasa.
“Bu yem ini titipan ibu. Itung dulu?”. “Yaelah pake dihitung segala neng. Ibu percaya kok.”. “Jangan gitu Bu, di biasakan takutnya ibu saya juga salah. Biar sama-sama enak gitu.”. “Udah pas kok neng, ntar Ibu tungguin. Pulangnya jangan lupa lagi keranjangnya kayak kemarin. Masih muda udah lupaan.”. “Habis kalo pegang uang bawaannya lupa melulu. Aku masuk kelas dulu ya bu.” . Sebelum meninggalkan kantin itu ada suara ribut-ribut. Karena penasaran Riri tidak meninggalkan kantin dan sedikit mencari tahu siapa yang ribu-ribut di kantin itu.
“Siapa sih bu kok pagi-pagi gini udah ribut?”. “Alah palingan juga si Dimas Rio. Palingan juga mo ribut ama sekolah sebelah. Neng kayak gak tahu aja. Kemarin kan baru ribut.”. “Si ibu nih gaul juga. emang kemarin ada tawuran?”. “Bukan tawuran sih, Cuma ribut-ribut aja.”. “kemarin aku udah pulang sih.”. “Udah Neng masuk sekolah sana, tuh udah di tungguin temennya.”
Dari arah parkiran Rama melambai-lambaikan tanggannya. Riri menghampirinya, mereka berdua segera masuk kelas karena sebentar laagi bel berbunyi. Saaa berjalan di koridor sekolah dan melewati mading, Riri berhenti. Mading sangat penuh dengan pengumuman pendaftaran calon OSIS akan dimulai minggu depan. Rama yang melihat Riri diam-diam mengamati. Dia sudah merencanakan mendaftarkan Riri menjadi calon ketua OSIS. Beberapa kali Rama membujuk Riri untuk ikut tapi dia selalu menolak. Riri tiba-tiba saja berjalan dan masuk ke kelas. Di kelas dia hanya melamun, Rama yang melihatnya jadi bertanya-tanya kenapa sahabatnya itu.
“Lo kenapa, Ri. Ngelamun aja ntar mati loh.”. “Sejak kapan ngelamun menyebabkan kematian. Yang ada mah Narkoba yang bisa bikin kita mati.”. “Becanda aja kele..eh gimana udah ada ketertarikan belum jadi ketua OSIS?”. “Agh..kenapa ngomongin itu lagi. Bosen tahu!! Sekarang tuh aku lagi mikirin ibu gue.”. “Ibu lo cantik kok keriputnya belim banyak yang keluar lagi.”. “Ah..ngaco nih. Gue pingin Ibu gak capek-capek kerja. Lo sih enak bolap masih ada, lumayan kaya lagi.”. “Enak kata lo. Lo belum aja ngerasain jadi gue. kesepian tahu di rumah gede sendirian. Mama sibuk Papa arisan..eh kebalik.”. “Lo ini gak pernah serius deh. Makanya jarang ada cewe yang mau ama lo.”. “Sembarangan aja lo. Sebenernya banyak lagi yang mau ama gue, tapi bukan karena gue, harta gue..”. “Pede amat lo. Yang kaya kan bonyok lo. Lo mah aslinya kere.”. “Bener juga ya. Eh gue punya ide bagus. Gimana kalo ibu lo kita cariin Papa baru.”. “Boljug tuh ide lo. Tapi gue bantuin ya.”. “Apa sih yang gak buat lo.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar